Rabu, 15 Oktober 2014

Reformasi Kepolisian; Keinginan dan Kepentingan



Resume buku : Wajah Politik dan Keamanan Aceh

Polisi adalah sebuah instrumen negara yang memiliki tanggung jawab menciptakan keamanan dan stablitas di dalam kehidupan masyarakat. Namun tidak hanya itu, menurut Aryos Kepolisian tentunya juga harus melakukan penyadaran hukum kepada masyarakat akan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Namun timbul sebuah pertanyaan, apakah kehadiran kepolisian sudah menjawab segala kebutuhan masyarakat ?
Kondisi kekinian pihak polri menurut Aryos masih lemah, disertai kinerja yang belum memuaskan bahkan sejumlah oknum polisi terlibat sebagai bagian dari tindak kejahatan itu sendiri. Idealnya, polisi harus bisa menjadi penjaga keamanan yang secara tegas memberikan rasa damai dan aman kepada masyarakat dari berbagai tindak kriminalitas yang umumnya terjadi di tengah-tengah masyarakat, mengingat kompleks dan dinamisnya perkembangan zaman. Agenda kepolisian dalam pelaksanaan reformasi keamanan dinilai masih kurang berjalan, dikarenakan kurangnya kesungguhan dalam mewujudkan hal tersebut.
Kemudian daripada itu, Aryos Nivada menegaskan perlu adanya reformasi pada tubuh kepolisian. Ada tiga aspek yang harus dibenahi :
  1. Aspek Struktural, meliputi perubahan kelembagaan dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan, dan kedudukan.
  2. Aspek Instrumental, mencakup filosofi, doktrin kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi, dan IPTEK.
  3. Aspek Kultural, meliputi perubahan manajerial, sistem rekruitmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas, jasa, sistem anggaran, dan operasional.
Namun, timbul lagi pertanyaan tentang sudahkah dilakukan evaluasi atas kesemua hal tersebut ? Penulis melihat, bila tidak ada niat ataupun keseriusan dalam melaksanakan reformasi kelembagaan, citra dan reputasi polri akan kian terpuruk. Citra polisi tidak bisa dicapai hanya dengan menunjukan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat yang penting dan utama.
Sesuai dinamika yang terjadi di Aceh, selama November 2009 terjadi tiga kasus tindakan kriminalitas yang dialami oleh tiga orang asing, yaitu kepala palang merah Jerman, penembakan kepala palang merah Jerman, dan penembakan Staf Bahasa di Badan Bahasa Universitas Syiah Kuala. LBH Banda Aceh mencatat, sepanjang Tahun 2008 terjadi sekitar 15 kasus pelanggaran profesionalisme yang dilakukan oleh oknum kepolisian Aceh, seperti kasus penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, pengancaman, penyikasaan, penahanan diluar prosedur hukum, dan beberapa tindakan lainnya.
Sederet kasus diatas jelas mencederai semangat reformasi keamanan yang di dengung-dengungkan selama ini. Seharusnya pihak kepolisian membangun sistem keamanan berbasiskan sipil yang benar-benar melindungi masyarakat maupun warga asing yang menetap sementara. Hal yang terpenting dan menjadi catatan penulis, kepolisian seharusnya membangun hubungan emosional yang baik dengan masyarakat, menjadi lebih dekat dan responsif terhadap laporan dan keluhan masyarakat.
Yang menjadi permasalahan sampai saat ini menurut Aryos adalah struktur yang mengganggu peran dan fungsi polisi selama ini antara lain, sentralisasi polisi dan penyalahgunaan kekuatan polisi untuk kepentingan politik, struktur ini mengakibatkan rendahnya kapasistas polisi dalam merespon masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat.

Teroris dan Tindakan Represif Polisi di Aceh

Aceh memang memiliki sejarah yang panjang, mulai dari konflik yang mendera, hingga tsunami yang meluluh-lantahkan bumi Serambi Mekkah, hingga yang terjadi baru-baru ini tetang eksistensi kelompok teroris di pelosok hutan Jantho, Aceh Besar. Pihak kepolisian menggunakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai alas dalam menangani kasus terorisme di Aceh maupun lingkup nasional.
Metode intimidasi dan kekerasan menjadi alat yang sah dalam meraih kekuasaan, jika benar maka demokrasi menurut Aryos tidak akan berkembang, sehingga menurunkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran Ramlan Surbakti, penciptaaan rasa takut selalu bermuara kepada kekuasaan paksaan di psikologis pemilih. Dalam hal ini, takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkap, atau dibunuh. Senada dengan hal itu, Vilfredo Pareto mengungkapkan bahwa ketakutan bernuansa intimidasi dan kekerasaan menjadi cara elite mempertahankan kekuasaan dan memperoleh kekuasaan. Cara tersebut seringkali dijadikan senjata dan diproduksi oleh elite politik untuk pelanggengan kekuasaan, sehingga menciptakan demokrasi berbalut karakter militeristik gaya orde baru.
Pada akhirnya, elit politik atau pelaku politik dituntut untuk tidak melakukan tindakan kekerasan dan intimidaasi dalam ranah politik. Al hasil, demokrasi yang ber-etika dan penghargaan terhadap hak-hak sebagai manusia akan tercapai dan menjadi bagian indah dalam kisah demokrasi di tanah rencong.

Penegak Hukum Berbaju HAM

Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM menjadi dasar penting dalam efektifitas kebijakan maupun tindakan, mengingat polisi dan HAM merupakan sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Argumentasinya ialah pekerjaan kepolisian selalu bersinggungan dengan prinsip-prinsip HAM tanpa terkecuali.
Sejalan dengan seluruh maksud atas perbaikan atau reformasi di tubuh polri, kerjasama dengan International Organization for Migration (IOM) dijadikan sebagai sebuah sarana pelatihan HAM yang baik. Tujuannya adalah membangun paradigma atau mindset yang akan merubah perilaku aparat ketika berinteraksi dengan masyarakat sipil. Penyelenggaran pembinaan dan pengembangan pemahanam HAM merupakan hal yang sangat fundamental, mengingat hal ini menjadi pemicu sadarnya aparat akan esensi HAM itu sendiri.
Tak cukup disitu saja, pembenahan di tubuh Kepolisian Republik Indonesia harus juga mendapatkan perhatian dan partisipasi langsung dari masyarakat. Hal ini sangat penting, maksudnya adalah agar terciptanya suatu sinergi antara penegak hukum dan subjek hukum yakni masyarakat.