Jumat, 05 Desember 2014

Meyakini Hukum, Merawat Kehidupan Sosial


Hukum dirancang untuk mengatur, mengelola, menertibkan kehidupan sosial, dan hukum sebagai cambuk besi atas segala apa-apa tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi keyakinan sebuah kelompok/negara. Hukum haruslah berangkat dari hal yang terkecil, hingga yang besar secara bertahap. Hukum haruslah dipandang oleh tiap-tiap individu atau warga negaranya sebagai sesuatu yang besar, berwibawa, tegas, dan tinggi. Namun seiring berjalannya waktu, bergulirnya dinamika kehidupan, hukum dipandang sesuatu yang buruk, munafik, bermuka dua, dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan oleh tidak teryakini individu tersebut akan esensi dari hukum itu sendiri.
Penulis berpendapat, tidak teguhnya penegak hukum menjadi titik munculnya masalah-masalah hukum. Yang seharusnya berlaku adalah penegak hukum tentu harus teguh hukum, faham secara mengakar tentang apa-apa saja dan bagaimana membumikan produk hukum tersebut. Hukum memiliki tujuan yang mulia, namun terkadang menjadi salah ketika penegaknya tidak taat hukum. Ibarat ingin menyapu lantai yang kotor dengan sapu yang kotor, tentulah hal tersebut keliru. Seharusnya, menyapu lantai yang kotor adalah dengan sapu yang bersih, dengan kata lain guna membenahi masalah-masalah hukum, penegak hukumnya haruslah terlebih dahulu bersih.
Kemudian daripada itu, wibawa suatu negara sebagai unit terbesar merupakan wibawa hukum itu sendiri. Dengan kata lain, wibawa suatu negara tergantung dari wibawa hukumnya sendiri. Jika hukum suatu negara tinggi, besar, tegas, berwibawa, memaksa, maka wibawa negara tersebut akan terlihat sama sejalan dan sebentuk dengan wibawa hukumnya.
Plato dalam naskah Krito menceritakan rekaman keadaan Socrates menjelang hukuman matinya pada tahun 399 S.M. Diceritakan, Krito adalah seorang kawan akrab Socrates yang mencoba untuk membujuknya agar mau meninggalkan penjara dengan melarikan diri. Cara itu bisa ditempuh dengan menyogok para penjaga dan pengawal penjara dengan kekayaan Krito. Tapi usaha tersebut gagal, Socrates tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa hukum adalah kebajikan yang tertinggi dan hukuman yang telah dijatuhkan kepada seseorang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Sebab tanpa begitu, akan terjadi kekacauan terhadap ketertiban negara, hukum, rasa keadilan, dan sikap hidup layak dalam masyarakat dan peranannya sebagai seorang yang terlibat dalam negara itu sendiri. Semisal, katanya (Socrates):

“Akan kita kemanakan negara ini jika tiap-tiap warga negaranya tidak lagi melihat hukum itu sebagai yang tertinggi dan berwibawa ? masihkah perlu sebuah negara jika warganya tidak lagi menganggap suatu kewajiban untuk mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku yang ada dalam negara itu sendiri ?” (Rouse, 1958)

Penekanan atas gagasan di atas adalah bagaimana supaya tiap warganegara itu memuliakan negara lewat memuliakan hukumnya dengan cara taat hukum. Dan ini merupakan benang merah landasan dari ajaran etika Socrates. Percayalah, ketaatan akan hukum secara wajar akan menciptakan keamanan, ketertiban dalam berkehidupan.

Agama Mendamaikan Hati,
Hukum Mendamaikan Rasionalitas

Source: "Great Dialogues Of Plato" (1958) By. W.H.D Rouse,
The Pocket Library June, New York, U.S.A