Jumat, 05 Desember 2014

Meyakini Hukum, Merawat Kehidupan Sosial


Hukum dirancang untuk mengatur, mengelola, menertibkan kehidupan sosial, dan hukum sebagai cambuk besi atas segala apa-apa tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi keyakinan sebuah kelompok/negara. Hukum haruslah berangkat dari hal yang terkecil, hingga yang besar secara bertahap. Hukum haruslah dipandang oleh tiap-tiap individu atau warga negaranya sebagai sesuatu yang besar, berwibawa, tegas, dan tinggi. Namun seiring berjalannya waktu, bergulirnya dinamika kehidupan, hukum dipandang sesuatu yang buruk, munafik, bermuka dua, dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan oleh tidak teryakini individu tersebut akan esensi dari hukum itu sendiri.
Penulis berpendapat, tidak teguhnya penegak hukum menjadi titik munculnya masalah-masalah hukum. Yang seharusnya berlaku adalah penegak hukum tentu harus teguh hukum, faham secara mengakar tentang apa-apa saja dan bagaimana membumikan produk hukum tersebut. Hukum memiliki tujuan yang mulia, namun terkadang menjadi salah ketika penegaknya tidak taat hukum. Ibarat ingin menyapu lantai yang kotor dengan sapu yang kotor, tentulah hal tersebut keliru. Seharusnya, menyapu lantai yang kotor adalah dengan sapu yang bersih, dengan kata lain guna membenahi masalah-masalah hukum, penegak hukumnya haruslah terlebih dahulu bersih.
Kemudian daripada itu, wibawa suatu negara sebagai unit terbesar merupakan wibawa hukum itu sendiri. Dengan kata lain, wibawa suatu negara tergantung dari wibawa hukumnya sendiri. Jika hukum suatu negara tinggi, besar, tegas, berwibawa, memaksa, maka wibawa negara tersebut akan terlihat sama sejalan dan sebentuk dengan wibawa hukumnya.
Plato dalam naskah Krito menceritakan rekaman keadaan Socrates menjelang hukuman matinya pada tahun 399 S.M. Diceritakan, Krito adalah seorang kawan akrab Socrates yang mencoba untuk membujuknya agar mau meninggalkan penjara dengan melarikan diri. Cara itu bisa ditempuh dengan menyogok para penjaga dan pengawal penjara dengan kekayaan Krito. Tapi usaha tersebut gagal, Socrates tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa hukum adalah kebajikan yang tertinggi dan hukuman yang telah dijatuhkan kepada seseorang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Sebab tanpa begitu, akan terjadi kekacauan terhadap ketertiban negara, hukum, rasa keadilan, dan sikap hidup layak dalam masyarakat dan peranannya sebagai seorang yang terlibat dalam negara itu sendiri. Semisal, katanya (Socrates):

“Akan kita kemanakan negara ini jika tiap-tiap warga negaranya tidak lagi melihat hukum itu sebagai yang tertinggi dan berwibawa ? masihkah perlu sebuah negara jika warganya tidak lagi menganggap suatu kewajiban untuk mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku yang ada dalam negara itu sendiri ?” (Rouse, 1958)

Penekanan atas gagasan di atas adalah bagaimana supaya tiap warganegara itu memuliakan negara lewat memuliakan hukumnya dengan cara taat hukum. Dan ini merupakan benang merah landasan dari ajaran etika Socrates. Percayalah, ketaatan akan hukum secara wajar akan menciptakan keamanan, ketertiban dalam berkehidupan.

Agama Mendamaikan Hati,
Hukum Mendamaikan Rasionalitas

Source: "Great Dialogues Of Plato" (1958) By. W.H.D Rouse,
The Pocket Library June, New York, U.S.A

Rabu, 15 Oktober 2014

Reformasi Kepolisian; Keinginan dan Kepentingan



Resume buku : Wajah Politik dan Keamanan Aceh

Polisi adalah sebuah instrumen negara yang memiliki tanggung jawab menciptakan keamanan dan stablitas di dalam kehidupan masyarakat. Namun tidak hanya itu, menurut Aryos Kepolisian tentunya juga harus melakukan penyadaran hukum kepada masyarakat akan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Namun timbul sebuah pertanyaan, apakah kehadiran kepolisian sudah menjawab segala kebutuhan masyarakat ?
Kondisi kekinian pihak polri menurut Aryos masih lemah, disertai kinerja yang belum memuaskan bahkan sejumlah oknum polisi terlibat sebagai bagian dari tindak kejahatan itu sendiri. Idealnya, polisi harus bisa menjadi penjaga keamanan yang secara tegas memberikan rasa damai dan aman kepada masyarakat dari berbagai tindak kriminalitas yang umumnya terjadi di tengah-tengah masyarakat, mengingat kompleks dan dinamisnya perkembangan zaman. Agenda kepolisian dalam pelaksanaan reformasi keamanan dinilai masih kurang berjalan, dikarenakan kurangnya kesungguhan dalam mewujudkan hal tersebut.
Kemudian daripada itu, Aryos Nivada menegaskan perlu adanya reformasi pada tubuh kepolisian. Ada tiga aspek yang harus dibenahi :
  1. Aspek Struktural, meliputi perubahan kelembagaan dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan, dan kedudukan.
  2. Aspek Instrumental, mencakup filosofi, doktrin kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi, dan IPTEK.
  3. Aspek Kultural, meliputi perubahan manajerial, sistem rekruitmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas, jasa, sistem anggaran, dan operasional.
Namun, timbul lagi pertanyaan tentang sudahkah dilakukan evaluasi atas kesemua hal tersebut ? Penulis melihat, bila tidak ada niat ataupun keseriusan dalam melaksanakan reformasi kelembagaan, citra dan reputasi polri akan kian terpuruk. Citra polisi tidak bisa dicapai hanya dengan menunjukan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat yang penting dan utama.
Sesuai dinamika yang terjadi di Aceh, selama November 2009 terjadi tiga kasus tindakan kriminalitas yang dialami oleh tiga orang asing, yaitu kepala palang merah Jerman, penembakan kepala palang merah Jerman, dan penembakan Staf Bahasa di Badan Bahasa Universitas Syiah Kuala. LBH Banda Aceh mencatat, sepanjang Tahun 2008 terjadi sekitar 15 kasus pelanggaran profesionalisme yang dilakukan oleh oknum kepolisian Aceh, seperti kasus penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, pengancaman, penyikasaan, penahanan diluar prosedur hukum, dan beberapa tindakan lainnya.
Sederet kasus diatas jelas mencederai semangat reformasi keamanan yang di dengung-dengungkan selama ini. Seharusnya pihak kepolisian membangun sistem keamanan berbasiskan sipil yang benar-benar melindungi masyarakat maupun warga asing yang menetap sementara. Hal yang terpenting dan menjadi catatan penulis, kepolisian seharusnya membangun hubungan emosional yang baik dengan masyarakat, menjadi lebih dekat dan responsif terhadap laporan dan keluhan masyarakat.
Yang menjadi permasalahan sampai saat ini menurut Aryos adalah struktur yang mengganggu peran dan fungsi polisi selama ini antara lain, sentralisasi polisi dan penyalahgunaan kekuatan polisi untuk kepentingan politik, struktur ini mengakibatkan rendahnya kapasistas polisi dalam merespon masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat.

Teroris dan Tindakan Represif Polisi di Aceh

Aceh memang memiliki sejarah yang panjang, mulai dari konflik yang mendera, hingga tsunami yang meluluh-lantahkan bumi Serambi Mekkah, hingga yang terjadi baru-baru ini tetang eksistensi kelompok teroris di pelosok hutan Jantho, Aceh Besar. Pihak kepolisian menggunakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai alas dalam menangani kasus terorisme di Aceh maupun lingkup nasional.
Metode intimidasi dan kekerasan menjadi alat yang sah dalam meraih kekuasaan, jika benar maka demokrasi menurut Aryos tidak akan berkembang, sehingga menurunkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran Ramlan Surbakti, penciptaaan rasa takut selalu bermuara kepada kekuasaan paksaan di psikologis pemilih. Dalam hal ini, takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkap, atau dibunuh. Senada dengan hal itu, Vilfredo Pareto mengungkapkan bahwa ketakutan bernuansa intimidasi dan kekerasaan menjadi cara elite mempertahankan kekuasaan dan memperoleh kekuasaan. Cara tersebut seringkali dijadikan senjata dan diproduksi oleh elite politik untuk pelanggengan kekuasaan, sehingga menciptakan demokrasi berbalut karakter militeristik gaya orde baru.
Pada akhirnya, elit politik atau pelaku politik dituntut untuk tidak melakukan tindakan kekerasan dan intimidaasi dalam ranah politik. Al hasil, demokrasi yang ber-etika dan penghargaan terhadap hak-hak sebagai manusia akan tercapai dan menjadi bagian indah dalam kisah demokrasi di tanah rencong.

Penegak Hukum Berbaju HAM

Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM menjadi dasar penting dalam efektifitas kebijakan maupun tindakan, mengingat polisi dan HAM merupakan sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Argumentasinya ialah pekerjaan kepolisian selalu bersinggungan dengan prinsip-prinsip HAM tanpa terkecuali.
Sejalan dengan seluruh maksud atas perbaikan atau reformasi di tubuh polri, kerjasama dengan International Organization for Migration (IOM) dijadikan sebagai sebuah sarana pelatihan HAM yang baik. Tujuannya adalah membangun paradigma atau mindset yang akan merubah perilaku aparat ketika berinteraksi dengan masyarakat sipil. Penyelenggaran pembinaan dan pengembangan pemahanam HAM merupakan hal yang sangat fundamental, mengingat hal ini menjadi pemicu sadarnya aparat akan esensi HAM itu sendiri.
Tak cukup disitu saja, pembenahan di tubuh Kepolisian Republik Indonesia harus juga mendapatkan perhatian dan partisipasi langsung dari masyarakat. Hal ini sangat penting, maksudnya adalah agar terciptanya suatu sinergi antara penegak hukum dan subjek hukum yakni masyarakat.

Senin, 30 Juni 2014

Mengapa Harus Berhenti Merokok ?

Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk terpadat dan terbesar dengan jumlah 237,641,326 juta pada tahun 2010 saja (BPS, 2010). Di sisi lain Indonesia juga adalah salah satu negara dengan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan yang besar, serta jumlah pendapatan perhari dibawah rata-rata. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan dan hidup tidak layak. Hal ini diperberat dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang tak “sehat”, yakni merokok. Adalah benar bahwa rokok dan kegiatan merokok bukanlah perbuatan melawan hukum, namun dibalik itu terdapat rahasia besar yang penikmatnya sendiri sudah tau, tapi seolah membiarkan atau menganggap hal tersebut sepele, yaitu kematian.

(Ilustrasi)
Angka kematian akibat rokok terus meningkat, tegak lurus dengan fakta bahwa Indonesia masih menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia sekitar 61,4 juta perokok setelah China dan India. Perlu disadari bahwa, jumlah perokok di Indonesia lebih besar dari jumlah penduduk Korea Selatan, Australia, Italia, Spanyol dan beberapa negara eropa lainnya. Sekitar 60 persen pria dan 4,5 persen wanita di Indonesia adalah perokok. Sementara itu, perokok pada anak dan remaja juga terus meningkat. Angka-angka tersebut akan terus meningkat mengingat tidak ada regulasi yang kuat dan konsisten tentang bahaya merokok ini sendiri.
Indonesia dan China adalah salah satu pasar potensial yang sangat menjanjikan bagi raksasa pembuat rokok dunia, merujuk kepada jumlah penduduk yang besar sebagai target pemasaran. Suasana sempurna bagi raksasa rokok dunia adalah ketika mereka mampu menjual barang yang sifatnya adiktif, permintaan akan rokok tak pernah sepi, yang mana permintaan yang tak sepi sama dengan profit. Koorporasi rokok dunia tersebut melihat Indonesia adalah pundi-pundi uang, yang harus terus diperlemah regulasi atau aturannya tentang rokok, agar mereka dapat dengan leluasa memasarkan barang dagangannya kepada masyarakat Indonesia.
Sejumlah penelitian resmi sudah dipublikasikan, berbagai dampak merokok telah dilihat dan didengar secara langsung oleh masyarakat. Tapi apa yang membuat masyarakat Indonesia tetap buta dan kokoh dengan keyakinan yang pelan-pelan merusak tubuhnya ? tidak ada yang pernah benar-benar tau bagaimana ini berawal dan berakhir. Yang jelas hal ini setiap harinya semakin parah, jumlah perokok baru dan jumlah perokok yang sudah berhenti tidak seimbang. Hal yang lebih memprihatinkan adalah rokok telah menyerang anak dibawah umur, hampir bisa dijumpai disetiap sudut, anak kecil merokok dengan gaya layaknya orang dewasa.
(Ilustrasi)
Penulis melihat hal ini merupakan sebuah skenario besar yang telah dirancang dunia barat untuk menghancurkan atau melemahkan negara berkembang. Indonesia secara tidak sadar semakin diperbodoh generasinya, diperlemah pemerintahnya, dan semakin menyengsarakan masyarakat yang kurang mampu. Indonesia dengan jumlah perokok yang tinggi bahkan  Bayangkan, masyarakat miskin dengan pendapatan kecil kecanduan merokok. Dengan pendapatannya yang kecil, sering kali terjadi keputusan yang tidak sehat, dengan pendapatan yang kecil para orang tua miskin tersebut tetap membeli rokok untuk dirinya, dan mengenyampingkan pemenuhan pendidikan bagi anaknya, yang pada faktanya akan menjadi bagian dari penerus bangsa.
Kalau anda seorang perokok, maka berhenti segera !! tidak ada yang pernah tau anda akan menjadi orang kaya atau miskin, syukur kalo anda terlahir sebagai orang kaya. Anda bisa berobat ke dokter spesialis paru-paru yang mumpuni dengan biaya fantastis dan INGAT, belum tentu sembuh 100%. (kebanyakan penyakit ini tak pernah terselsaikan)
Tapi, bagaimana kalo anda terlahir dengan masa depan yang tidak jelas ? kalaupun anda ditakdirkan untuk menjadi orang miskin, setidaknya anda memiliki badan sehat karena tidak merokok, karena dengan badan yang sehat anda masih bisa mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidup utama dengan optimal, dan pendidikan bagi anak dan keluarga.
          selamatkan tubuh anda dan jauhkan keluarga anda dari asap rokok.
          mari membangun tubuh yang lebih sehat dan membangun bangsa dengan masyarakat yang
          cerdas, kuat dan penuh semangat.


ROKOK LEBIH POPULER DARIPADA SEX, LEBIH MEMATIKAN DARIPADA PERANG, LEBIH KECANDUAN DARIPADA AGAMA

Source :


Indonesia, J. P. (2010). Badan Pusat Statistik. Retrieved from BPS: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=12
Video : Sex, Lies, and Cigarettes

Kamis, 12 Juni 2014

Memahami Pengemis Banda Aceh



Memahami masalah kemiskinan bukanlah hal yang mudah, masalah ini cukup kompleks dan merupakan masalah umum dari hampir semua negara-negara berkembang di dunia dewasa ini. Di Indonesia sendiri jumlah pengemis sangat besar. Namun saat ini yang menjadi objek penelitian penulis adalah  pengemis yang berada di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Dari banyak pengemis yang penulis jumpai, rata-rata dari mereka memang berasal dari kalangan ekonomi lemah, ada juga yang menjanda sejak di tinggal suami yang notabennya merupakan tulang punggung keluarga. Tak sedikit pula yang mejadi seperti ini karena stres, tekanan jiwa yang diakibatkan peristiwa Tsunami beberapa tahun silam. Umumya mereka datang dari luar daerah, bukan penduduk lokal. Dari pemerintah sendiri sudah mengeluarkan berbagai solusi dan kebijakan, namun seolah-olah solusi dan kebijakan itu menimbulkan kebuntuan dan kontroversi tersendiri. Setelah melakukan penelusuran, penulis dapat mengklasifikasikan pengemis-pengemis tersebut kepada 2 golongan, yaitu : 
  1. “Cacat” fisik, yang tidak mampu, tidak produktif secara ekonomi, dan
  2.  Pengemis yang sehat fisik atau tidak cacat, dan berkemampuan produktif secara ekonomi.
Bagi pengemis yang masuk di dalam katagori yang pertama, ketidakmampuan mungkin pantas bagi mereka untuk menjadi alasan untuk memilih jalan menjadi pengemis dan mencari tahu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka. Sebaliknya bagi pengemis yang masuk dalam katagori kedua dan bahkan menjadikan mengemis sebagai sebuah profesi atau pekerjaan tetap, mungkin alasan yang tepat bagi mereka adalah “kemalasan yang berkepanjangan”
Pada beberapa kasus, masalah pengemis ini menjadi sebuah “Dilema” yang cukup indah. Karena yang dikatakan pekerjaan itu apabila mampu menghasilkan sesuatu yang berharga dari skill, atau kemampuan pribadi. Bukan dari meminta-minta yang dengan mudah menghasilkan uang. Dari hasil pengamatan penulis yang menjadi point meningkatnya pengemis adalah sebagai berikut :
  1. Faktor ekonomi keluarga dan ekonomi pribadi  
  2. Pendidikan yang kurang 
  3. Terpencilnya suatu dan daerah yang mengakibatkan kurangnya informasi
  4. Kurangnnya dukungan orang tua                                  
  5. Daya kreasi atau daya cipta yang lemah.
Di banyak kasus pengemis ini bisa memiliki pendapatan yang lebih besar dari Pegawai Negeri. Ironis memang, tapi itulah dunia. Diluar dari itu semuanya sangat berkaitan dengan hukum alam. Mereka sendiri melakukan ini karena untuk bertahan hidup.  Sekarang, tak perlu dari kita untuk menanyakan “siapa yang bersalah ?”, karena ini akhirnya memang menjadi tanggung jawab kita bersama.

Review tulisan: Change And Continuity In Indonesian Foreign Policy


Penulis melihat Indonesia berusaha untuk mengubah pola hubungan eksternal. Perubahan biasanya terjadi baik pada pola kemitraan dan jenis kegiatan. Perubahan berada di kedua sektor geografis dan fungsional. Indonesia telah berupaya untuk menciptakan pola baru atau pada dasarnya berubah dari hubungan di kedua sektor. Hal ini dapat dilihat pada hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara lain baik dari segi bilateral dan hubungan multilateral.
Permasalahan untuk studi kasus ini berkaitan dengan mencari penjelasan atas kebijakan luar negeri Indonesia, pada titik dimana pengaruh yang timbul di sistem internasional menyeberangi arena domestik dan dimana politik domestik berubah menjadi perilaku internasional. Tulisan ini mengungkapkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia telah berubah secara substansial sejak jatuhnya Suharto pada tahun 1998.
Awal pemerintahan pasca - Soeharto disibukkan dengan bisnis transisi demokrasi, mendirikan lembaga-lembaga demokrasi, penarikan militer dari politik, dan menolak berbagai ancaman terhadap reformasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan luar negeri telah menarik perhatian lebih, dan pemerintah (di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertama kali terpilih pada tahun 2004) telah mencoba untuk meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional dan meningkatkan perannya di Asia Tenggara.
Dimensi instrumental untuk tumbuh, fokus Indonesia dalam kebijakan luar negeri mengingat keuntungan material dari pengaruh yang lebih besar di panggung dunia . Ada manfaat jelas dari mengembangkan hubungan strategis dengan negara-negara besar dan mencari stabilitas di wilayah itu. Selain itu, profil internasional yang lebih tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing dan pengaturan perdagangan dinegosiasikan.
Namun, evolusi dari kebijakan luar negeri Indonesia juga mencerminkan pergeseran peran politik dalam negeri dan kepentingan. Perubahan yang terkait dengan transisi demokrasi Indonesia telah memperluas jangkauan suara dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Demokratisasi dari proses ini telah mengungkapkan keinginan yang tulus oleh banyak aktor-anggota parlemen, aktivis, perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memajukan demokrasi dan hak asasi manusia sebagai nilai-nilai politik pusat di Indonesia kontemporer. Juga pada salah satu Bagian pada tulisan memperlihatkan sesuatu yang menarik, yakni tabel pencapaian, gaya kepemimpinan, strategi dan kebijakan dari setiap presiden yang pernah dan sedang memimpin Indonesia. Dimana terlihat jelas sejak awal Bangsa ini lahir, praktik Bebas-Aktif sudah diterapkan, yakni pada masa Ir. Soekarno.
Di Indonesia pendekatan kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi oleh pengalaman negara dalam mengamankan kemerdekaannya dari Belanda dalam perjuangan bersenjata, dan kemudian mempertahankan kemerdekaan dalam persaingan dunia adidaya. Politik luar negeri di bawah Soekarno (1949-1966) adalah radikal, ditandai dengan peran gadungan Soekarno sebagai pemimpin revolusioner dari negara-negara berkembang. Republik Indonesia yang baru berkomitmen pada tahun 1948 untuk mengejar “bebas dan kebijakan luar negeri aktif”.
Kebijakan luar negeri Indonesia awal berkonsentrasi pada oposisi terhadap kolonialisme dan untuk mengamankan posisi internasional, terlepas dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dari Konferensi Bandung negara-negara non-blok pada tahun 1955 dan dukungan untuk Non-Blok Gerakan setelah diresmikan pada tahun 1961 adalah refleksi utama prioritas ini. Dari akhir 1950-an, kebijakan luar negeri Indonesia di era Soekarno pada “demokrasi terpimpin” menjadi jauh lebih tegas, dengan retorika anti-kolonial meningkat dan upaya yang dilakukan untuk menentang pembangunan Federasi Malaysia dari 1963.
Masa Konfrontasi Malaysia meningkatkan, ketegangan antara Indonesia dan tetangga dekat dan negara-negara lain di dalam dan di dekat Asia Tenggara, termasuk Australia yang mengerahkan pasukan tempur untuk mendukung Malaysia. Selain itu, setiap pemahaman Orde Lama kebijakan luar negeri harus mengakui bahwa tempat dalam politik domestik keduanya mirip namun berbeda dengan era Orde Baru.
Adanya kemiripan dalam arti bahwa kebijakan luar negeri terus mencerminkan berbagai desakan di politik domestik. Tapi itu berbeda dalam arti di bawah pemerintahan Orde Lama, kekuatan politik yang bersaing berusaha mendiskreditkan lawan dengan menggunakan isu-isu kebijakan luar negeri, seperti di masa demokrasi terpimpin ketika arah kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Soekarno dipengaruhi oleh keseimbangan kekuatan politik di Indonesia. Selama awal 1960-an, kebijakan luar negeri Indonesia semakin radikal, menunjukkan bahwa keseimbangan politik bergeser ke arah kiri. Soekarno memproklamasikan Indonesia untuk menjadi pemimpin dari The New Emerging Forces (NEFOS) dioposisikan dari OLDEFOS (pemerintahan lama), dan Indonesia terkait dengan negara-negara lain radikal Asia.
Berbeda dengan Soekarno, tujuan utama dari kebijakan luar negeri Soeharto pada masa Orde Baru yang untuk memobilisasi sumber daya internasional untuk membantu dalam rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan, dan untuk memastikan lingkungan regional yang aman yang akan memungkinkan Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya. Oleh karena itu kebijakan luar negeri Soeharto pada orde baru diarahkan untuk mencapai tujuan stabilitas internal dan ekonomi pembangunan.
Pemerintah Orde Baru membina hubungan baik dengan negara barat, terutama Amerika Serikat dan negara Eropa. Negara-negara ini telah memainkan peran penting dalam transformasi ekonomi Indonesia dengan memberikan bantuan, pinjaman, investasi, akses pasar, transfer teknologi, dan bantuan ekonomi lainnya.
Memang politik telah didominasi oleh pertimbangan keamanan dan stabilitas sejak awal Orde Baru, tidak mengherankan bahwa militer harus memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri. Namun, ketika perekonomian Indonesia menurun tajam pada tahun 1997 ini mempercepat terkikisnya rezim orde baru. Ini tidak mengherankan, karena pertumbuhan ekonomi melalui ketaatan politik adalah janji besar otokrasi Indonesia. Pada sisi lain, peningkatan tinggi belum pernah terjadi sebelumnya untuk utang luar negeri, memaksa Indonesia untuk meminta bantuan kepada IMF. Keselamatan nasional dan rehabilitasi menjadi kebutuhan sentral Indonesia.
Pada era Orde Baru pasca - Soeharto perubahan di kancah domestik mengakibatkan pluralistik dan keberagaman pada lingkungan domestik dan ada kecenderungan untuk sistem politik demokrasi terbuka. Kondisi politik domestik dan kebijakan luar negeri menjadi sangat transparan.