Kamis, 12 Juni 2014

Review tulisan: Change And Continuity In Indonesian Foreign Policy


Penulis melihat Indonesia berusaha untuk mengubah pola hubungan eksternal. Perubahan biasanya terjadi baik pada pola kemitraan dan jenis kegiatan. Perubahan berada di kedua sektor geografis dan fungsional. Indonesia telah berupaya untuk menciptakan pola baru atau pada dasarnya berubah dari hubungan di kedua sektor. Hal ini dapat dilihat pada hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara lain baik dari segi bilateral dan hubungan multilateral.
Permasalahan untuk studi kasus ini berkaitan dengan mencari penjelasan atas kebijakan luar negeri Indonesia, pada titik dimana pengaruh yang timbul di sistem internasional menyeberangi arena domestik dan dimana politik domestik berubah menjadi perilaku internasional. Tulisan ini mengungkapkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia telah berubah secara substansial sejak jatuhnya Suharto pada tahun 1998.
Awal pemerintahan pasca - Soeharto disibukkan dengan bisnis transisi demokrasi, mendirikan lembaga-lembaga demokrasi, penarikan militer dari politik, dan menolak berbagai ancaman terhadap reformasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan luar negeri telah menarik perhatian lebih, dan pemerintah (di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertama kali terpilih pada tahun 2004) telah mencoba untuk meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional dan meningkatkan perannya di Asia Tenggara.
Dimensi instrumental untuk tumbuh, fokus Indonesia dalam kebijakan luar negeri mengingat keuntungan material dari pengaruh yang lebih besar di panggung dunia . Ada manfaat jelas dari mengembangkan hubungan strategis dengan negara-negara besar dan mencari stabilitas di wilayah itu. Selain itu, profil internasional yang lebih tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing dan pengaturan perdagangan dinegosiasikan.
Namun, evolusi dari kebijakan luar negeri Indonesia juga mencerminkan pergeseran peran politik dalam negeri dan kepentingan. Perubahan yang terkait dengan transisi demokrasi Indonesia telah memperluas jangkauan suara dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Demokratisasi dari proses ini telah mengungkapkan keinginan yang tulus oleh banyak aktor-anggota parlemen, aktivis, perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memajukan demokrasi dan hak asasi manusia sebagai nilai-nilai politik pusat di Indonesia kontemporer. Juga pada salah satu Bagian pada tulisan memperlihatkan sesuatu yang menarik, yakni tabel pencapaian, gaya kepemimpinan, strategi dan kebijakan dari setiap presiden yang pernah dan sedang memimpin Indonesia. Dimana terlihat jelas sejak awal Bangsa ini lahir, praktik Bebas-Aktif sudah diterapkan, yakni pada masa Ir. Soekarno.
Di Indonesia pendekatan kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi oleh pengalaman negara dalam mengamankan kemerdekaannya dari Belanda dalam perjuangan bersenjata, dan kemudian mempertahankan kemerdekaan dalam persaingan dunia adidaya. Politik luar negeri di bawah Soekarno (1949-1966) adalah radikal, ditandai dengan peran gadungan Soekarno sebagai pemimpin revolusioner dari negara-negara berkembang. Republik Indonesia yang baru berkomitmen pada tahun 1948 untuk mengejar “bebas dan kebijakan luar negeri aktif”.
Kebijakan luar negeri Indonesia awal berkonsentrasi pada oposisi terhadap kolonialisme dan untuk mengamankan posisi internasional, terlepas dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dari Konferensi Bandung negara-negara non-blok pada tahun 1955 dan dukungan untuk Non-Blok Gerakan setelah diresmikan pada tahun 1961 adalah refleksi utama prioritas ini. Dari akhir 1950-an, kebijakan luar negeri Indonesia di era Soekarno pada “demokrasi terpimpin” menjadi jauh lebih tegas, dengan retorika anti-kolonial meningkat dan upaya yang dilakukan untuk menentang pembangunan Federasi Malaysia dari 1963.
Masa Konfrontasi Malaysia meningkatkan, ketegangan antara Indonesia dan tetangga dekat dan negara-negara lain di dalam dan di dekat Asia Tenggara, termasuk Australia yang mengerahkan pasukan tempur untuk mendukung Malaysia. Selain itu, setiap pemahaman Orde Lama kebijakan luar negeri harus mengakui bahwa tempat dalam politik domestik keduanya mirip namun berbeda dengan era Orde Baru.
Adanya kemiripan dalam arti bahwa kebijakan luar negeri terus mencerminkan berbagai desakan di politik domestik. Tapi itu berbeda dalam arti di bawah pemerintahan Orde Lama, kekuatan politik yang bersaing berusaha mendiskreditkan lawan dengan menggunakan isu-isu kebijakan luar negeri, seperti di masa demokrasi terpimpin ketika arah kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Soekarno dipengaruhi oleh keseimbangan kekuatan politik di Indonesia. Selama awal 1960-an, kebijakan luar negeri Indonesia semakin radikal, menunjukkan bahwa keseimbangan politik bergeser ke arah kiri. Soekarno memproklamasikan Indonesia untuk menjadi pemimpin dari The New Emerging Forces (NEFOS) dioposisikan dari OLDEFOS (pemerintahan lama), dan Indonesia terkait dengan negara-negara lain radikal Asia.
Berbeda dengan Soekarno, tujuan utama dari kebijakan luar negeri Soeharto pada masa Orde Baru yang untuk memobilisasi sumber daya internasional untuk membantu dalam rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan, dan untuk memastikan lingkungan regional yang aman yang akan memungkinkan Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya. Oleh karena itu kebijakan luar negeri Soeharto pada orde baru diarahkan untuk mencapai tujuan stabilitas internal dan ekonomi pembangunan.
Pemerintah Orde Baru membina hubungan baik dengan negara barat, terutama Amerika Serikat dan negara Eropa. Negara-negara ini telah memainkan peran penting dalam transformasi ekonomi Indonesia dengan memberikan bantuan, pinjaman, investasi, akses pasar, transfer teknologi, dan bantuan ekonomi lainnya.
Memang politik telah didominasi oleh pertimbangan keamanan dan stabilitas sejak awal Orde Baru, tidak mengherankan bahwa militer harus memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri. Namun, ketika perekonomian Indonesia menurun tajam pada tahun 1997 ini mempercepat terkikisnya rezim orde baru. Ini tidak mengherankan, karena pertumbuhan ekonomi melalui ketaatan politik adalah janji besar otokrasi Indonesia. Pada sisi lain, peningkatan tinggi belum pernah terjadi sebelumnya untuk utang luar negeri, memaksa Indonesia untuk meminta bantuan kepada IMF. Keselamatan nasional dan rehabilitasi menjadi kebutuhan sentral Indonesia.
Pada era Orde Baru pasca - Soeharto perubahan di kancah domestik mengakibatkan pluralistik dan keberagaman pada lingkungan domestik dan ada kecenderungan untuk sistem politik demokrasi terbuka. Kondisi politik domestik dan kebijakan luar negeri menjadi sangat transparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar