Selasa, 10 Juni 2014

MILITER DAN POLITIK : Kembali Ke Barak, Menuju Tentara Profesional


PENDAHULUAN

Reruntuhan pemerintah Orde Baru memiliki implikasi yang sangat besar terhadap posisi militer di dalam politik. Pada masa pemerintahan di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, militer memiliki posisi dan peran yang strategis di dalam kehidupan politik di Indonesia. Militer merupakan salah satu instrumen utama untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan, khususnya di dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik.
Jauh sebelum pemerintahan Orde Baru, pengaruh politik militer di dalam proses-proses politik sebenarnya sudah terjadi. Hal ini tidak terlepas dari eksistensi militer di indonesia yang dipandang berbeda dengan militer di negara-negara Barat, misalnya. Perbedaan eksistensial itu terlihat munculnya konsep “jalan tengah” kolonel A. H.Nasution (di kemudian hari menjadi Jenderal Besar, Berbintang Lima).  Dalam pandangan ini, militer tidak bisa hanya ditempatkan sebagai penjaga keamanan, melainkan harus dilibatkan di dalam pengelolaan negara. Tetapi, militer juga tidak bisa dipakai sebagai alat oleh penguasa militer. Secara kelembagaan pengaruh militer mengalami penguatan ketika Indonesia memasuki fase otoritarianisme. Tepatnya ketika pada 1957 Presiden Soekarno membentuk “Dewan Nasional”, yang di dalam realitasnya telah mengambil alih fungsi palemen.
Posisi itu semakin kuat ketika terjadi “peristiwa 30 September 1965”. Sebelum peristiwa ini, terdapat dua kekuatan yang paling berpengaruh. Mereka adalah PKI dan TNI, Kekuatan-kekuatan di luar itu langsung dilemahkan. Jatuhnya Soekarno dan dibubarkannya PKI, menjadikan TNI sebagai kekuatan yang secara kelembagaan paling berpengaruh. Konsep “jalan tengah” Jenderal Nasution yang menjadi dasar legitimasi TNI di dalam politik kemudian dikembangkan menjadi konsep dan doktrin “dwifungsi”.


RELASI MILITER DAN POLITIK

Relasi sipil dan militer di dalam suatu negara pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari karakteristik sistem politiknya. Di negara-negara otoriter dan totaliter, pengaruh militer di dalam kehidupan politik sangat besar. Di sini, militer merupakan bagian terpenting dari kekuasaan, atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti ditemukan di negara-negara demokratis, pengaruh militer cenderung mengecil karena adanya paradigma supremasi sipil atas militer. Dengan demikian, militer berada di bawah kendali politisi sipil.

Di negara-negara Barat, yang menganut prinsip supremasi sipil, peran militer cenderung dikendalikan oleh para politisi sipil. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa militer di negara-negara Barat tidak memiliki pengaruh. C. Wright Mills (1956) pernah menyebut bahwa militer merupakan satu dari tiga kelompok yang paling berpengaruh, secara politik, di Amerika Serikat. Pengaruh itu, khususnya, berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan dan politik luar negeri.
Sementara itu di negara-negara lainnya, peran dan pengaruh militer lebih kuat. Di negara-negara Amerika Latin, contohnya, militer pernah menjadi bagian terpenting di dalam pemerintahan. Di negara-negara ini pengaruh militer atas politik itu sebagian besar diperoleh karena militer mengambil kekuasaan secara paksa, melalui kudeta. Di Argentina contohnya, antara 1930 sampai 1989, proses pergantian pemerintah selalu melibatkan militer.
Mengingat posisi dan pengaruh militer di sejumlah Negara sebelum penghujung abad ke-20 cukup besar, gambaran konseptual tentang relasi antara militer sipil di Negara-negara itu berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara. Eric Nordlinger (1977) yang menaruh minat kuat pada studi-studi militer memberi sebutan “tentara-tentara praetorian” bagi militer yang terlibat di dalam politik. Nordlinger menggambarkan praetorianisme sebagai “situasi dimana anggota militer merupakan aktor politik utama karena menggunakan kekuatan nyata atau ancaman yang mereka miliki”.
Sebutan tentang “tentara-tentara” ini didasarkan atas apa yang pernah terjadi di romawi kuno. Pada masa kekaisaran romawi kuno itu, kaisar meembentuk suatu unit militer khusus untuk melindungi dirinya. Unit khusus itu disebut “prajurit praetorian”. Tetapi, upaya kaisar ini justru malah memakan dirinya sendiri. Yang kemudian, para prajurit praetorian ini menggulingkan para kaisar dan mengontrol proses pergantian para kaisar berikutnya. Para prajurit itu pada kenyataannya memiliki kekuasaan yang tidak kalah dari kaisar yang mendirikannya.
Terlepas dari fakta bahwa militer di sejumlah Negara telah melakukan intervensi politik, derajat keterlibatannya tidak sama antara Negara yang dengan yang lainnya. Berangkat dari realitas seperti ini, Nordlinger kemudian membagi tentara praetorian itu ke dalam tiga kategori, yakni Moderators, Guardians, Rulers.


REFORMASI TNI : TEKANAN EKSTERNAL DAN INTERNAL

Adanya “transfer kekuasaan” dari Presiden Soeharto ke wakil Presiden Habibie pada 21 mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang sangat berarti di dalam relasi antara militer dan politik di Indonesia. Secara simbolis, peristiwa ini mengindikasikan adanya transfer dari pemerintahan yang “dikendalikan oleh militer” yang disimbolkan oleh Jenderal Soeharto ke pemerintahan yang “dikendalikan oleh sipil” yang disimbolkan oleh Prof B.J Habibie.
Sebagaimana di Negara-negara yang mengalami proses demokratiasasi, TNI dituntut kembali ke barak, sebagai kelompok profesional yang mengerjakan masalah-masalah pertahanan saja. Sebagai konsekuensinya, TNI dituntut untuk merevisi konsep “dwifungsi” yang sudah lama dianutnya, karena  konsep tersebut selama ini dipandang sebagai pembenar bagi masuknya militer ke wilayah non-pertahanan.
 
MASALAH PERAN TERITORIAL

Salah satu turunan penting dari konsep “dwifungsi” adalah adanya lembaga teritorial, mengingat salah satu peran penting dari lembaga ini adalah untuk melakukan pembinaan sosial politik. Secara kelembagaan, peran demikian dijalankan oleh komando teritorial yang meliputi kodim  di tingkat provinsi sampai Babinsa di tingkat kelurahan/desa. Di dalam sejarahnya, eksistensi lembaga ini tidak lepas dari konsep pertahanan yang dipakai oleh TNI, yaitu sistem pertahanan rakyat semesta atau yang disebut total war (Wirahadikusumah, 1999). Di dalam konsep demikian, yang menjadi alat pertahanan bukan hanya TNI, melainkan juga kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat di seluruh Indonesia.
 
PERAN POLITIK TNI MASA DEPAN

Secara konseptual, TNI berusaha mendekonsentruksi mengenai peran politik mereka. Mereka menyebutnya sebagai “politik Negara”. Konsepsi demikian tidak berbeda jauh dengan peran politik NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini, secara formal, mengatakan tidak akan terlibat di dalam politik praktis. Tetapi mereka masih memiliki peranan politik.
Secara empiris, politik Negara itu terlihat pada kasus ketidakpatuhan TNI terhadap dekrit Presiden Abdurahman Wahid pada 22 Juli 2001. Menghadapi tuntutan yang sangat kuat untuk mundur, dan lempangnya jalan sidang istimewa MPR yang akan meng-impeach-nya, Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden. Tetapi, berbeda dengan Dekrit Presiden Soekarno pada 1959 yang memperoleh dukungan dari TNI, Dekrit Gus Dur itu justru tidak memperoleh dukungan TNI. Sebaliknya, TNI justru mendukung berlangsungnya Sidang Istimewa MPR yang berujung pada pemecatan Presiden Abdurahman Wahid.
Pada masa ini, meskipun kelembagaan TNI tidak memiliki keterkaitan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada, secara tidak langsung TNI bisa saja terseret ke kancah politik ketika hak pilih itu diberikan saat ini. Hal ini tidak lepas dari persaingan antara purnawirawan TNI di dalam perebutan kekuasaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah purnawirawan TNI, sementara itu Wiranto juga Jenderal Purnawirawan. Keduanya pernah terlibat di dalam persaingan untuk memperebutkan kursi kepresidenan pada pilpres 2004. Persaingan serupa, diperkirakan akan terjadi pada pilpres 2009, setelah Wiranto mendirikan partai sendiri (Partai Hati Nurani Rakyat-Hanura). Sementara itu, banyak purnawirawan TNI yang juga aktif di partai-partai lain seperti di Golkar dan PDIP. (Kacung Maridjan)
 
PENUTUP

Sebagaimana terjadi di Negara-negara lain, derajat keterlibatan politik miiliter di dalam politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh corak sistem politik yang berkembang. Ketika terjadi arus otoritarianisme, mulai 1957 sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto, keterlibatan militer di dalam politik sangat kental. Kekentalan itu lebih terlihat lagi pada masa pemerintahan Soeharto karena secara kelembagaan, militer merupakan bagian terpenting di dalam bangunan pemerintahan Orde Baru.
Proses demokratisasi yang mengiring jatuhnya pemerintah Soeharto telah memberi dorongan yang kuat kepada militer untuk kembali ke jati dirinya sebagai tentara profesional. Di dalam jati diri demikian, militer lebih banyak berperan sebagai kekuatan di bidang pertahanan. Peran politik yang sudah lebih dari empat dekade dijalaninya, harus ditinggalkan...

1 komentar:

  1. Walaupun tulisan ini sederhana dan tidak terlalu panjang (penulis menyebutnya: tulisan acak), namun artikel ini sangat informatif dan bermanfaat bagi dosen dan mhs terkait. Menurut saya, tulisan ini akan jauh lebih berbobot dan bermanfaat, jika ia disertai dgn referensi/sumber
    bacaan. Tks

    BalasHapus