PENDAHULUAN
Reruntuhan pemerintah Orde Baru
memiliki implikasi yang sangat besar terhadap posisi militer di dalam politik.
Pada masa pemerintahan di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, militer memiliki
posisi dan peran yang strategis di dalam kehidupan politik di Indonesia.
Militer merupakan salah satu instrumen utama untuk mendukung dan mempertahankan
kekuasaan, khususnya di dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas
politik.
Jauh sebelum pemerintahan Orde
Baru, pengaruh politik militer di dalam proses-proses politik sebenarnya sudah
terjadi. Hal ini tidak terlepas dari eksistensi militer di indonesia yang
dipandang berbeda dengan militer di negara-negara Barat, misalnya. Perbedaan
eksistensial itu terlihat munculnya konsep “
jalan tengah” kolonel
A. H.Nasution (di kemudian hari menjadi Jenderal Besar, Berbintang Lima).
Dalam pandangan ini, militer tidak bisa hanya
ditempatkan sebagai penjaga keamanan, melainkan harus dilibatkan di dalam
pengelolaan negara. Tetapi, militer juga tidak bisa dipakai sebagai alat oleh
penguasa militer. Secara kelembagaan pengaruh militer mengalami penguatan
ketika Indonesia memasuki fase otoritarianisme. Tepatnya ketika pada 1957
Presiden Soekarno membentuk “Dewan Nasional”, yang di dalam realitasnya telah
mengambil alih fungsi palemen.
Posisi itu semakin kuat ketika
terjadi “
peristiwa 30 September 1965”. Sebelum peristiwa ini, terdapat dua
kekuatan yang paling berpengaruh. Mereka adalah PKI dan TNI, Kekuatan-kekuatan
di luar itu langsung dilemahkan. Jatuhnya Soekarno dan dibubarkannya PKI,
menjadikan TNI sebagai kekuatan yang secara kelembagaan paling berpengaruh.
Konsep “jalan tengah” Jenderal Nasution yang menjadi dasar legitimasi TNI di
dalam politik kemudian dikembangkan menjadi konsep dan doktrin “dwifungsi”.
RELASI MILITER DAN POLITIK
Relasi sipil dan militer di dalam
suatu negara pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari karakteristik sistem
politiknya. Di negara-negara otoriter dan totaliter, pengaruh militer di dalam
kehidupan politik sangat besar. Di sini, militer merupakan bagian terpenting
dari kekuasaan, atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti ditemukan di
negara-negara demokratis, pengaruh militer cenderung mengecil karena adanya
paradigma supremasi sipil atas militer. Dengan demikian, militer berada di
bawah kendali politisi sipil.
Di negara-negara Barat, yang
menganut prinsip supremasi sipil, peran militer cenderung dikendalikan oleh
para politisi sipil. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa militer di
negara-negara Barat tidak memiliki pengaruh. C. Wright Mills (1956) pernah
menyebut bahwa militer merupakan satu dari tiga kelompok yang paling
berpengaruh, secara politik, di Amerika Serikat. Pengaruh itu, khususnya,
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan dan politik luar negeri.
Sementara itu di negara-negara
lainnya, peran dan pengaruh militer lebih kuat. Di negara-negara Amerika Latin,
contohnya, militer pernah menjadi bagian terpenting di dalam pemerintahan. Di
negara-negara ini pengaruh militer atas politik itu sebagian besar diperoleh
karena militer mengambil kekuasaan secara paksa, melalui kudeta. Di Argentina
contohnya, antara 1930 sampai 1989, proses pergantian pemerintah selalu
melibatkan militer.
Mengingat posisi dan pengaruh
militer di sejumlah Negara sebelum penghujung abad ke-20 cukup besar, gambaran
konseptual tentang relasi antara militer sipil di Negara-negara itu berbeda
dengan apa yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara. Eric Nordlinger
(1977) yang menaruh minat kuat pada studi-studi militer memberi sebutan
“tentara-tentara praetorian” bagi militer yang terlibat di dalam politik.
Nordlinger menggambarkan praetorianisme sebagai “situasi dimana anggota militer
merupakan aktor politik utama karena menggunakan kekuatan nyata atau ancaman
yang mereka miliki”.
Sebutan tentang “tentara-tentara”
ini didasarkan atas apa yang pernah terjadi di romawi kuno. Pada masa
kekaisaran romawi kuno itu, kaisar meembentuk suatu unit militer khusus untuk
melindungi dirinya. Unit khusus itu disebut “prajurit praetorian”. Tetapi,
upaya kaisar ini justru malah memakan dirinya sendiri. Yang kemudian, para
prajurit praetorian ini menggulingkan para kaisar dan mengontrol proses
pergantian para kaisar berikutnya. Para prajurit itu pada kenyataannya memiliki
kekuasaan yang tidak kalah dari kaisar yang mendirikannya.
Terlepas dari fakta bahwa militer
di sejumlah Negara telah melakukan intervensi politik, derajat keterlibatannya
tidak sama antara Negara yang dengan yang lainnya. Berangkat dari realitas
seperti ini, Nordlinger kemudian membagi tentara praetorian itu ke dalam tiga
kategori, yakni Moderators, Guardians, Rulers.
REFORMASI TNI : TEKANAN EKSTERNAL DAN INTERNAL
Adanya “transfer kekuasaan” dari
Presiden Soeharto ke wakil Presiden Habibie pada 21 mei 1998 telah membawa
perubahan-perubahan yang sangat berarti di dalam relasi antara militer dan
politik di Indonesia. Secara simbolis, peristiwa ini mengindikasikan adanya
transfer dari pemerintahan yang “dikendalikan oleh militer” yang disimbolkan
oleh Jenderal Soeharto ke pemerintahan yang “dikendalikan oleh sipil” yang
disimbolkan oleh Prof B.J Habibie.
Sebagaimana di Negara-negara yang
mengalami proses demokratiasasi, TNI dituntut kembali ke barak, sebagai
kelompok profesional yang mengerjakan masalah-masalah pertahanan saja. Sebagai
konsekuensinya, TNI dituntut untuk merevisi konsep “dwifungsi” yang sudah lama
dianutnya, karena konsep tersebut selama
ini dipandang sebagai pembenar bagi masuknya militer ke wilayah non-pertahanan.
MASALAH PERAN TERITORIAL
Salah satu turunan penting dari
konsep “dwifungsi” adalah adanya lembaga teritorial, mengingat salah satu peran
penting dari lembaga ini adalah untuk melakukan pembinaan sosial politik.
Secara kelembagaan, peran demikian dijalankan oleh komando teritorial yang
meliputi kodim di tingkat provinsi
sampai Babinsa di tingkat kelurahan/desa. Di dalam sejarahnya, eksistensi
lembaga ini tidak lepas dari konsep pertahanan yang dipakai oleh TNI, yaitu
sistem pertahanan rakyat semesta atau yang disebut total war (Wirahadikusumah,
1999). Di dalam konsep demikian, yang menjadi alat pertahanan bukan hanya TNI,
melainkan juga kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat di seluruh
Indonesia.
PERAN POLITIK TNI MASA DEPAN
Secara konseptual, TNI berusaha
mendekonsentruksi mengenai peran politik mereka. Mereka menyebutnya sebagai
“politik Negara”. Konsepsi demikian tidak berbeda jauh dengan peran politik NU
dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini, secara formal, mengatakan tidak akan
terlibat di dalam politik praktis. Tetapi mereka masih memiliki peranan
politik.
Secara empiris, politik Negara
itu terlihat pada kasus ketidakpatuhan TNI terhadap dekrit Presiden Abdurahman
Wahid pada 22 Juli 2001. Menghadapi tuntutan yang sangat kuat untuk mundur, dan
lempangnya jalan sidang istimewa MPR yang akan meng-impeach-nya, Gus Dur
mengeluarkan Dekrit Presiden. Tetapi, berbeda dengan Dekrit Presiden Soekarno
pada 1959 yang memperoleh dukungan dari TNI, Dekrit Gus Dur itu justru tidak
memperoleh dukungan TNI. Sebaliknya, TNI justru mendukung berlangsungnya Sidang
Istimewa MPR yang berujung pada pemecatan Presiden Abdurahman Wahid.
Pada masa ini, meskipun
kelembagaan TNI tidak memiliki keterkaitan dengan kekuatan-kekuatan politik
yang ada, secara tidak langsung TNI bisa saja terseret ke kancah politik ketika
hak pilih itu diberikan saat ini. Hal ini tidak lepas dari persaingan antara
purnawirawan TNI di dalam perebutan kekuasaan. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono adalah purnawirawan TNI, sementara itu Wiranto juga Jenderal
Purnawirawan. Keduanya pernah terlibat di dalam persaingan untuk memperebutkan
kursi kepresidenan pada pilpres 2004. Persaingan serupa, diperkirakan akan
terjadi pada pilpres 2009, setelah Wiranto mendirikan partai sendiri (Partai
Hati Nurani Rakyat-Hanura). Sementara itu, banyak purnawirawan TNI yang juga
aktif di partai-partai lain seperti di Golkar dan PDIP. (Kacung Maridjan)
PENUTUP
Sebagaimana terjadi di
Negara-negara lain, derajat keterlibatan politik miiliter di dalam politik di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh corak sistem politik yang berkembang. Ketika
terjadi arus otoritarianisme, mulai 1957 sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto,
keterlibatan militer di dalam politik sangat kental. Kekentalan itu lebih
terlihat lagi pada masa pemerintahan Soeharto karena secara kelembagaan,
militer merupakan bagian terpenting di dalam bangunan pemerintahan Orde Baru.
Proses demokratisasi yang
mengiring jatuhnya pemerintah Soeharto telah memberi dorongan yang kuat kepada
militer untuk kembali ke jati dirinya sebagai tentara profesional. Di dalam
jati diri demikian, militer lebih banyak berperan sebagai kekuatan di bidang pertahanan.
Peran politik yang sudah lebih dari empat dekade dijalaninya, harus
ditinggalkan...
Walaupun tulisan ini sederhana dan tidak terlalu panjang (penulis menyebutnya: tulisan acak), namun artikel ini sangat informatif dan bermanfaat bagi dosen dan mhs terkait. Menurut saya, tulisan ini akan jauh lebih berbobot dan bermanfaat, jika ia disertai dgn referensi/sumber
BalasHapusbacaan. Tks